Selasa, 07 Agustus 2012

Makalah Populer

KESETIAN CINTA SANG PERANTAU

DALAM

NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

KARYA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

OLEH

MAYSA DARLYANTI

 

A.    PENDAHULUAN

Karya satra adalah hasil cipta rasa manusia yang dituangkan dalam bentuk karangan dengan memadukan kenyataan dan imajinasi sehingga dapat  memperoleh nilai-nilai keindahannya. Karya sastra dapat berupa prosa, puisi atau lakon. Sastra bisa juga disebut sebagai cabang dari seni, yang kedua unsure integral dari kehidupan. Keduanya hamper bersama dengan adanya manusia, karena diciptakan dan dinikmati manusia. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya sebagai pengalaman maupun dari aspek penciptaannya, yang mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra.

Di tinjau dari segi penciptaan pengarang, karya satra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam karya satra dilukiskan keadaan dan kehidupan social suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya.

Dalam karya sastra semua ide, gagasan dan perasaan dapat dituangka menjadi berbagai tulisan. Salah satu yang sering digunakan dalam meluapkan ide dalam bentuk tulisan pada awal perkembangan kesusastraan modern Indonesia angkatan 20-an adalah roman. Roman adalah cerita yang melukiskan seluruh hidup pelakunya, mendalami sifat-sifat dan watak tokoh, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Tokohnya dilukiskan dari kecil hingga akhir hidupnya.

 

B.     TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

Pada tahun 30-an seorang penyair, penulis serta seorang ulama yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA mengarang novel atau lebih tepatnya roman yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel yang ditulisnya ini bersetting pada awal tahun 1930-an. Novel yang judulnya diambil dari salah satu judul bab dalam novel ini, merupakan salah satu karyanya yang tersohor. Dalam novel ini, penggunaan tema pentingnya sebuah kesetiaan nampak sangat pas ketika novel ini terbit untuk pertama kali pada tahun 1939.

Novel ini bercerita tentang petualangan seorang pemuda hingga ia menemukan cinta, kesuksesan dan detik detik kematiannya. Zainuddin adalah pemuda berdarah campuran Mengkasar dan Minangkabau.Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Mengkasar tapi Minangkabau.

Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) 30 tahun lampau, seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh  mamaknya. Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartany atersebut, terjadilah pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah Mengkasar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin.

Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sanan, ia begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta.

Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati.

Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab.Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran.

Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit.Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan.

Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi.

Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayat pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.

Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung syok, dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati.

Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara Hayati.

Jelas sekali kesan kesetiaan dalam novel ini, penantian Zainuddin atas cinta terlarangnya dengan Hayati yang terpisah hanya karena Zainuddin miskin dan anak dari seorang buangan. Begitu besar cintanya terhadap Hayati meski Hayati telah dinikahkan dengan orang lain Zainuddin tetap mencintai Hayati. Begitu juga Hayati yang masih menjaga hatinya untuk Zainuddin meski sudah menikah karena pernikahannya di paksa oleh keluarga. Mereka berdua bertemu dalam keadaan yang mengharukan, sampai mereka menyadari kalau satu sama lain masih saling mencintai. Kesetiaan cinta keduanya berakhir dengan kematian.

Dalam novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing-masing. Pengarang dengan jelas menggunakan bahasa yang sedang trend dimasanya. Hal ini tampak jelas dengan banyaknya penulisan dengan gaya ejaan Indonesia lama. Pengaruh Melayu juga dapat kita lihat dengan jelas.Penggunaan latar, yaitu adat budaya Minangkabau dan Makassar yang digambarkan sangat bertentangan dalam novel ini. Penggunaan bahasa yang halus, bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk membacanya hingga akhir dari karya ini. Rangkaian peristiwa dan konflik yang disusun sedemikian rupa juga penokohan yang kuat dari setiap karakter, penggambaran latar yang tepat hingga alur cerita yang mengalun indah tak bisa dipungkiri menjadi kelebihan dari karya ini.

Dalam novel ini juga tampak mulai berkembangnya pendidikan dikalangan perempuan. Seperti yang terlihat pada tokoh Hayati, oleh keluarganya ia di izinkan untuk menuntut ilmu dan mengaji. Nama Hayati juga menunjukkan mulai berkembangnya budaya karena berbeda jauh dengan nama-nama wanita Minang. Penulis ingin menyampaikan tentang ketidak setujuannya atas adat yang berkembang di Minangkabau yang melandasi perkawinan dengan derajat dan uang. Ketidak setujuannya itu dituangkan lewat tokoh Zainudin.

Akan tetapi, bukannya karya ini tak punya cela. Kritikan-kritikan tokoh utama dalam novel ini dapat dipandang sebagai celaan terhadap adat budaya. Pengarang sering kali mengkritik unsur-unsur adat budaya yang menurutnya agak menyimpang secara berlebihan walaupun dengan bahasa yang halus.Dilihat dari segi ketata bahasaan, penggunaan bahasa asli yang digunakan pengarang terkadang menyulitkan pembaca dalam menyelami karyanya. Hal ini terjadi karena bahasa yang dipakai terkadang telah tergeser oleh kosa kata baru orang-orang saat ini.

Tidak hanya itu saja, pada tahun1962 tokoh-tokoh Lekra membuat serangan gencar terhadap karya sastra dan sastrawan di luar Lekra secara gencar. Di tengah polemik politik pada saat itu, karya Hamka pun tidak terlepas dari serangan tokoh-tokoh lekra ini. Seorang tokoh Lekra yang bernama Abdullah S.P menuduh bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka merupakan plagiat dari Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti. Tuduhan plagiat itu di buktikan Abdullah S.P dengan perbandingan isi maupun gaya kedua roman itu sama. Ia dibantu oleh Pramoedya Ananta Toer, panglima Lekra semasa menghadapi keruntuhannya. Namun, tuduhan plagiat itu tidak dapat diterima begitu saja oleh beberapa tokoh, baik secara langsung maupun tidak, diantaranya H.B. Jassin, Rusjdi, Umar Junus, Ali Audah, dan Soewardi Idris.

Tapi tak dapat di pungkiri novel karya penulis tersohor, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA ini telah mengundang decak kagum para pembacanya. Selain itu kita juga sebenarnya telah dikritik untuk lebih memperhatikan adat istiadat dan budaya kita dan budaya suku lain di negeri ini. Apa lagi di zaman sekarang ini, tak banyak remaja yang mempelajari dan mencintai adat istiadat dan budaya daerahnya sendiri padahal kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga kekayaan budaya bangsa besar ini.

 

C.    PENUTUP

Karya sastra dapat berisi cerminan budaya pada masanya. Seperti yang di ceritakan pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA. Dalam novel tersebut suasana yang tersirat dalam novel benar-benar menggambarkan suasana tahun 30-an. Budaya Minang yang diceritakan juga nampak nyata disuguhkan pada novel ini. Maka dari itu ada pandangan bahwa karya sastra termasuk bagian darihistoris suatu bangsa.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mempunyai banyak sisi positif dalam mengembangkan budaya, serta menjadi pesan kepada generasi muda untuk mempelajari sejarah lewat sastra, mengenal budaya pada zaman 30-an dan agar generasi muda peduli terhadap budaya negerinya yang semakin tersisih. Karya sasta bukan hanya sebuah karangan dengan nilai estetik saja tapi juga dapat berisi fakta yang ada di dunia nyata dengan di bumbui imajinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar