Makalah Populer
KESETIAN
CINTA SANG PERANTAU
DALAM
NOVEL
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
KARYA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
OLEH
MAYSA
DARLYANTI
A.
PENDAHULUAN
Karya satra adalah
hasil cipta rasa manusia yang dituangkan dalam bentuk karangan dengan memadukan
kenyataan dan imajinasi sehingga dapat memperoleh nilai-nilai keindahannya. Karya
sastra dapat berupa prosa, puisi atau lakon. Sastra bisa juga disebut sebagai
cabang dari seni, yang kedua unsure integral dari kehidupan. Keduanya hamper
bersama dengan adanya manusia, karena diciptakan dan dinikmati manusia. Sastra
telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia, baik dari aspek manusia
yang memanfaatkannya sebagai pengalaman maupun dari aspek penciptaannya, yang
mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra.
Di tinjau dari segi
penciptaan pengarang, karya satra merupakan pengalaman batin penciptanya
mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu dan situasi budaya
tertentu. Di dalam karya satra dilukiskan keadaan dan kehidupan social suatu
masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang
diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia
dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga karya sastra berguna untuk mengenal
manusia, kebudayaan serta zamannya.
Dalam karya sastra
semua ide, gagasan dan perasaan dapat dituangka menjadi berbagai tulisan. Salah
satu yang sering digunakan dalam meluapkan ide dalam bentuk tulisan pada awal
perkembangan kesusastraan modern Indonesia angkatan 20-an adalah roman. Roman
adalah cerita yang melukiskan seluruh hidup pelakunya, mendalami sifat-sifat
dan watak tokoh, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Tokohnya
dilukiskan dari kecil hingga akhir hidupnya.
B.
TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK
Pada tahun 30-an
seorang penyair, penulis serta seorang ulama yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
HAMKA mengarang novel atau lebih tepatnya roman yang berjudul Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Novel yang ditulisnya ini bersetting pada awal tahun
1930-an. Novel yang judulnya diambil dari salah satu judul bab dalam novel ini,
merupakan salah satu karyanya yang tersohor. Dalam novel ini, penggunaan tema
pentingnya sebuah kesetiaan nampak sangat pas ketika novel ini terbit untuk
pertama kali pada tahun 1939.
Novel ini bercerita tentang petualangan seorang pemuda
hingga ia menemukan cinta, kesuksesan dan detik detik kematiannya. Zainuddin
adalah pemuda berdarah campuran Mengkasar dan Minangkabau.Saat ia termenung, ia
teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri
aslinya bukanlah Mengkasar tapi Minangkabau.
Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) 30 tahun
lampau, seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih,
yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara
perempuan, maka harta bendanya diurus oleh mamaknya. Datuk Mantari labih
hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh
menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun
tak diizinkan menggunakan hartany atersebut, terjadilah pertengkaran yang
membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu
ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah
Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah Mengkasar. Beberapa
tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng Habibah, putri
seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah
Zainuddin.
Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan
kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari,
Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli
ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.Sampai di Padang
Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sanan, ia begitu
gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak
seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis,
orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga
dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat
itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah,
menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat,
mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta.
Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan
semua orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka
hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati,
dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi
meninggalkan Batipuh.Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati.
Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat.
Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya
bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak
Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu
Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati.
Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada
Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di
Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz yang
juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang
dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan
Aziz yang di mata mereka lebih beradab.Zainuddin tak kuasa menerima penolakan
tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat
moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran.
Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah
pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit.Untuk melupakan masa lalunya,
Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan
kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”.
Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang
terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan.
Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli
Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan
perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka
diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin.
Mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas
kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke
Banyuwangi.
Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang
pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat
permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah
itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga
meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih
merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayat pulang ke kampung halamannya saja.
Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia
tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis
“aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang
engkau.” Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang
bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika
Zainuddin langsung syok, dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk
mencari Hayati.
Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin
menemukan Hayati yang terbarng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari
itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada
Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.Sejak saat itu, Zainuddin
menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk,
Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara
Hayati.
Jelas sekali kesan kesetiaan dalam novel ini, penantian
Zainuddin atas cinta terlarangnya dengan Hayati yang terpisah hanya karena
Zainuddin miskin dan anak dari seorang buangan. Begitu besar cintanya terhadap
Hayati meski Hayati telah dinikahkan dengan orang lain Zainuddin tetap
mencintai Hayati. Begitu juga Hayati yang masih menjaga hatinya untuk Zainuddin
meski sudah menikah karena pernikahannya di paksa oleh keluarga. Mereka berdua
bertemu dalam keadaan yang mengharukan, sampai mereka menyadari kalau satu sama
lain masih saling mencintai. Kesetiaan cinta keduanya berakhir dengan kematian.
Dalam novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang
terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing-masing. Pengarang dengan
jelas menggunakan bahasa yang sedang trend dimasanya. Hal ini tampak jelas
dengan banyaknya penulisan dengan gaya ejaan Indonesia lama. Pengaruh Melayu
juga dapat kita lihat dengan jelas.Penggunaan latar, yaitu adat budaya
Minangkabau dan Makassar yang digambarkan sangat bertentangan dalam novel ini.
Penggunaan bahasa yang halus, bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya
tarik tersendiri bagi pembaca untuk membacanya hingga akhir dari karya ini.
Rangkaian peristiwa dan konflik yang disusun sedemikian rupa juga penokohan
yang kuat dari setiap karakter, penggambaran latar yang tepat hingga alur
cerita yang mengalun indah tak bisa dipungkiri menjadi kelebihan dari karya
ini.
Dalam novel ini juga tampak mulai berkembangnya pendidikan
dikalangan perempuan. Seperti yang terlihat pada tokoh Hayati, oleh keluarganya
ia di izinkan untuk menuntut ilmu dan mengaji. Nama Hayati juga menunjukkan
mulai berkembangnya budaya karena berbeda jauh dengan nama-nama wanita Minang.
Penulis ingin menyampaikan tentang ketidak setujuannya atas adat yang
berkembang di Minangkabau yang melandasi perkawinan dengan derajat dan uang.
Ketidak setujuannya itu dituangkan lewat tokoh Zainudin.
Akan tetapi, bukannya karya ini tak punya cela. Kritikan-kritikan
tokoh utama dalam novel ini dapat dipandang sebagai celaan terhadap adat
budaya. Pengarang sering kali mengkritik unsur-unsur adat budaya yang
menurutnya agak menyimpang secara berlebihan walaupun dengan bahasa yang halus.Dilihat
dari segi ketata bahasaan, penggunaan bahasa asli yang digunakan pengarang
terkadang menyulitkan pembaca dalam menyelami karyanya. Hal ini terjadi karena
bahasa yang dipakai terkadang telah tergeser oleh kosa kata baru orang-orang
saat ini.
Tidak hanya itu saja, pada tahun1962 tokoh-tokoh
Lekra membuat serangan gencar terhadap karya sastra dan sastrawan di luar Lekra
secara gencar. Di tengah polemik politik pada saat itu, karya Hamka pun tidak
terlepas dari serangan tokoh-tokoh lekra ini. Seorang tokoh Lekra yang bernama
Abdullah S.P menuduh bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka
merupakan plagiat dari Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti.
Tuduhan plagiat itu di buktikan Abdullah S.P dengan perbandingan isi maupun
gaya kedua roman itu sama. Ia dibantu oleh Pramoedya Ananta Toer, panglima
Lekra semasa menghadapi keruntuhannya. Namun, tuduhan plagiat itu tidak dapat diterima
begitu saja oleh beberapa tokoh, baik secara langsung maupun tidak, diantaranya
H.B. Jassin, Rusjdi, Umar Junus, Ali Audah, dan Soewardi Idris.
Tapi tak dapat di pungkiri novel karya penulis tersohor,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA ini telah mengundang decak kagum
para pembacanya. Selain itu kita juga sebenarnya telah dikritik untuk lebih
memperhatikan adat istiadat dan budaya kita dan budaya suku lain di negeri ini.
Apa lagi di zaman sekarang ini, tak banyak remaja yang mempelajari dan mencintai
adat istiadat dan budaya daerahnya sendiri padahal kalau bukan kita siapa lagi
yang akan menjaga kekayaan budaya bangsa besar ini.
C.
PENUTUP
Karya sastra dapat berisi cerminan budaya pada masanya.
Seperti yang di ceritakan pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
HAMKA. Dalam novel tersebut suasana yang tersirat dalam novel benar-benar
menggambarkan suasana tahun 30-an. Budaya Minang yang diceritakan juga nampak
nyata disuguhkan pada novel ini. Maka dari itu ada pandangan bahwa karya sastra
termasuk bagian darihistoris suatu bangsa.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mempunyai banyak sisi
positif dalam mengembangkan budaya, serta menjadi pesan kepada generasi muda
untuk mempelajari sejarah lewat sastra, mengenal budaya pada zaman 30-an dan
agar generasi muda peduli terhadap budaya negerinya yang semakin tersisih.
Karya sasta bukan hanya sebuah karangan dengan nilai estetik saja tapi juga
dapat berisi fakta yang ada di dunia nyata dengan di bumbui imajinasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar