Semantik
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Linguistik Umum
Dosen pengapu :
Nia Budiana, S. Pd
Oleh :
Maysa Darlyanti
PRODI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM MAJAPAHIT
MOJOKERTO
2011
Kata Pengantar
Tiada
kata yang dapat saya sampaikan kecuali rasa syukur kehadirat Allah SWT hingga
saat ini saya diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah karya tulis,
hanya karena rahmat yang diberikan-Nya saya dapat merangkai karya tulis ini
hingga selesai. Apapun yang kami sajikan semoga selalu bermamfaat bagi para
pembacanya.
Pada
tulisan ini, saya dapat sampaikan kedudukan
semantik dalam cabang-cabang linguistik
sebagai bidang yang berkosentrasi dalam diskripsi makna. Sebuah kalimat tidak dapat diterima dalam bahasa
sehari-hari apabila tidak mempunyai makna yang sesuai. Oleh karena itu makalah ini saya beri judul “Semantik”.
Selesainya
penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1.
Bapak DR. Ludi Wisnu Wardana, MM selaku dekan
2.
Ibu Nia
Budiana, S. Pd sebagai dosen pengapu
3.
Dan pada rekan-rekan semua
Saya
sangat menyadari, karya tulis ini masih banyak kekurangan baik isi maupun
teknik penulisan, oleh sebab itu, kritik, saran dan pendapat dari pembaca
sangat kami harapkan.
Mojokerto,
18Desember 2011
Penulis
Daftar Isi
Halaman Judul............................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................. 27
3.2 Saran ........................................................................................ 27
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bahasa merupakan
sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat
komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa
dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya.
Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah
pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang
mempelajari tentang makna.
Kata semantik
berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang
(sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama
Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah
yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu
dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer,
1994: 2).
Bidang studi
liguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran
linguistik. Semantik dengan objeknya yaitu makna, berada di seluruh atau
disemua tataran yang bangu-membangun ini : makna berada didalam tataran
fonologi, morfologi dan sintaksis. Semantik bukan satu tataran dalam arti unsur
pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan unsur yang berada pada semua
tataran itu, meski sifat kehadiranyapada tiap tataran itu tidak sama.
Menurut Mansoer
Pateda (2001:79) bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang
membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Ada beberapa jenis makna, antara lain makna leksikal, makna gramatikal, makna
denotasi, dan makna konotasi. Selain itu, ada juga yang disebut relasi makna
yaitu Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahasa yang lain.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Makna
Semantik merupakan
salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari
makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa
istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna
tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam
Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna
dengan pengertian. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi
:
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam
pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan
atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjukkannya, dan
4. cara menggunakan lambang-lambang
bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Menurut teori yang
dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’
atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut
de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang
diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2)
yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain
dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang
mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini
adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau
mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa
(ekstralingual).
Sebuah kata, misalnya buku,
terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental
benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards
(1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara
lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan
dengan gambar dan uraian sebagai berikut.
petanda(sebuah perabotan yang digunakn untuk
duduk)
penanda (k-u-r-s-i) referen
Makna kata kursi adalah
konsep kursi yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata
k-u-r-s-i.dan memeliki makna sebuah perabotan yang di gunakan untuk duduk.
Gambar di atas menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat
hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak
berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus
melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji
makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang
melambangkannya.
Dalam analisis semantik
juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa hanya
berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis
bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada
jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam
bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam
bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti
daging yang digunakan sebagai lauk.
Di dalam penggunaannya
dalam penuturan yang nyata makna kata atau leksem seringkali, dan mungkin juga
biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Contohya : Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya. Oeh karena itu, banyak pakar
mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu
sudah berada dalam konteks kalimatnya.
Satu hal lagi yang
harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbiter, maka
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
2.2
Jenis Makna
Jenis makna dapat dibedakan
berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya
dapat dibedakan antara makna leksikal, makna gramatikal dan kontekstual.
Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna
referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan
ketepatan maknanya dapat dibedakan adanya makna istilah dan makna makna kata.
Ada juga makna konseptual dan asosiatif, makna Idiom dan Peribahasa, makna
konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna kolokatif, makna generik,
makna spesifik, dan makna tematikal.
2.2.1.
Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kentekstual
Makna
leksikal (leksical me3aning, sematic meaning, external meaning) adalah
makna kata yang berdiri sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalambentuk
kompleks (turunan) dan makna yang ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat
dalam kamus. Contoh:
rumah : bangunan untuk tempat
tinggal manusia
makan : mengunyah dan menelan
sesuatu
Makna
grmatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata
dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari
proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi.
Contoh:
berumah : mempunyai rumah
rumah-rumah : banyak rumah
rumah makan : rumah tempat makan
rumah ayah : rumah milik ayah
Makna
kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan situasi. Makna
kontekstual disebut juga makna struktural karena proses dan satuan gramatikal
itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Contoh :
Ranbut di kepala
nenek sudah putih.
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.
Pada kepala
surat terdapat alamat dan nomor telponnya.
Beras kepala
harganya lebih mahal
Makna
konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan
lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagi contoh lagi pada kalimat tiga kali empat berapa ? . Kalau ditanyakan
pada anak SMP maka jawabnya pasti dua belas tapi lain lagi jika ditanyakan pada
ukang foto maka akan dijawab lima ratus atau dengan jawaban yang lain.
2.2.2
Makna Referensial dan Nonreferensial
Referen menurut Palmer ( dalam Mansoer
Pateda, 2001: 125) adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa
kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman nonlinguistik. Referen atau
acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen
adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna referensial
mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda,
gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna referensial menurut uraian di atas
dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang
ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga dikatakan bahwa makna referensial
merupakan makna unsur bahasa yanga dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa,
baik berupa objek konkret atau gagasan yang dapat dijelaskan melalui analisis
komponen. Contoh : kuda, merah dan gambar adalah kata referensial karena ada
acuannya dalm dunia nyata.
Seadngkan nonreerensial acuanya tidak
menetap pada satu maujud. Dan kata- kata yang termasuk dalam makna nonreferensial
disebut kata-kata deiktik. Yang termasuk kata-kata deiktik adalah kata-kata
pronomina, seperti dia, saya, dan kamu ; kata-kata yang menyatakan ruang,
seperti di sini, disana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti
sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata penunjuk, seperti ini dan itu.
2.2.3 Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif (referensial) ialah
makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya. Contoh:
merah
: warna seperti warna darah.
ular
: binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
Makna konotatif (evaluasi) ialah makna
tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
Makna
dasar(denotasi) Makna
tambahan(konotasi)
merah
: warna …………………… berani; dilarang
ular
: binatang ………………… menakutkan/ berbahaya
Makna dasar beberapa kata misalnya:
buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang sama, yaitu orang yang bekerja,
tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja bernilai rasa rendah/
kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa tinggi.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.Contoh:
Konotasi
positif Konotasi negatif
suami
istri laki bini
tunanetra
buta
pria
laki-laki.
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat
digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar
digunakan dalam karya sastra.
2.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
2.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan
konsepnya makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi
atau hubungan apa pun. Makna konseptual disebut juga makna denotatif, makna
referensial, makna leksikal. Contoh : rumah memiliki makna konseptual bangunan
tempat manusia tinggal.
Makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian
kata yang tidak sebenarnya. Makna asosiatif adalah makna yang dimilki sebuah
kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa.
Misalnya kata bunglon berasosiasi dengan makna orang yang tidak
berpendirian tetap.
2.2.5 Makna Kata dan Makna istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah
kata adalah makna leksikal atau makna denotatif. Namun, dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Misalnya kita belum tahu makna jatuh
sebelum kata itu berada pada konteksnya. Oleh karena itu makna kata mash
bersifat umum, kasar dan tidak jelas.
Berbeda dengan kata, istilah memiliki
makna yag pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks,
sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah
hanya digunakan pada bidang keilmuan dan kegiatan tertentu. Contoh : kata
tangan dan lengan adalah sinonim. Namun kedua kata itu berbeda dibidang
kedokteran. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tagan
sedangkan lengan bermakna dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Dalam perkembangan bahasa memang ada
sejumlah istilah, yang karena sering digunakan lalu menjadi kosakata umum.
Artinya istilah itu tidak digunakan didalam bidang keilmuannya, tetapi telah di
gunakan secara umum diluar bidangnya.
2.2.6 Makna Idiom dan Peribahasa
Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom,
makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur pembentuknya.
Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom yaitu (a) idiom penuh dan (b)
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan
sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contoh: membanting tulang
artinya bekerja keras. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalamnya masih
terdapat unsur yang masih memiliki makna leksikal. Contoh: koran kuning yang
artinya koran yang memuat berita sensasi. Koran masih memiliki makna
leksikalnya.
Beda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang
masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya
asosiasi antara makna asli dengan makna peribahasa. Contoh: seperti anjing dengan kucing yang
bermakna dua orag yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa
binatang yang namanya kucing dan anjing itu jika bertemu memang selalu
berkelahi.
2.2.7 Makna Stilistika, Makna
Afektif, Makna Kolokatif, Makna Generik, Makna Spesifik, dan Makna Tematikal
Makna generik adalah makna
konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus
atau sempit. Misalnya, sekolah dalam kalimat “Sekolah kami menang.”
Bukan saja mencakup gedungnya, melainkan guru-guru, siswa-siswa dan pegawai
tata usaha sekolah bersangkutan.
Makna spesifik adalah makna
konseptual, khas, dan sempit. Misalnya jika berkata “ahli bahasa”, maka yang
dimaksud bukan semua ahli, melainkan seseorang yang mengahlikan dirinya dalam
bidang bahasa.
Makna afektif merupakan makna yang
muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Oleh
karena itu, makna afektif berhubungan dengan gaya bahasa.
Makna stilistik berhubungan dengan
pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistik
lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat
tempat tersendiri bagi kita karena kata yang digunakan mengandung makna
stalistika. Makna stalistika lebih banyak ditampilkan melalui gaya bahasa.
Makna kolokatif adalah makna yang
berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama.
Misalnya kata ikan, gurami, sayur, tomat tentunya
kata-kata tersebut akan muncul di lingkungan dapur. Ada tiga keterbatasan kata
jika dihubungkan dengan makna kolokatif, yaitu (a) makna dibatasi oleh unsur
yang membentuk kata atau hubungan kata, (b) makna dibatasi oleh tingkat
kecocokan kata, (c) makna dibatasi oleh kecepatan.
Makna tematikal adalah makna yang
diungkapkan oleh pembicara atau penulis, baik melalui urutan kata-kata, fokus
pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan.
2.3 Relasi Makna
Relasi makna
adalah hubugan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Pada dasarnya
prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu (1) prinsip kontiguitas, (2)
prinsip kolementasi, (3) prinsip overlaping, dan (4) inklusi.
1. Prinsip
kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki
makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang
disebut sinonimi.
-
Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang
menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang
lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut
antonimi.
-
Prinsip overlaping yaitu prinsip yang
menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda atau kata-kata
yang sama bunyinya tetapi mengandung makna berbeda. Prinsip ini dapat
menimbulkan adanya relasi makna yang disebut homonimi dan polisemi.
-
Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan
bahwa makna satu kata mencakup beberapa makna kata lain. Prinsip ini
dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut hiponimi.
2.3.1
Sinonim
Sinonim
: hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
Faktor
ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis
adalah :
a. Faktor waktu, contoh :
hulubalang dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan
beta
c.
Faktor keformalan, contoh : uang dan duit
d.
Faktor sosial, contoh : saya dan aku
e.
Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya
f.
Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik, menonton
2.3.2
Antonimi
Antonim adalah hubungan semantik dua
buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan
ujaran yang lain.Contoh : hidup x mati
Jenis
antonim :
a.
Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam x bergerak
b.
Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh : jauh x dekat
c.
Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami x istri
d.
Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama x bintara
bersila
f. Oposisi
inversi, oposisi ini terdapat pada pasangan kata seperti beberapa – semua,
mungkin – wajib. Pengujian utama dalam menetapkan oposisi ini adalah apakah
kata itu mengikuti kaidah sinonimi yang mencakup (a) penggantian suatu istilah
dengan yang lain dan (b) mengubah posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan
istilah berlawanan. Contoh: beberapa negara tidak mempunyai pantai = tidak
semua negara mempunyai pantai
a.
.
2.3.3
Polisemi
Polisemi
adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata
yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang didaftarkan kamus)
adalah makna leksikal, makna denotatif dan makna konseptualnya. Yang lainnya
adalah makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang
dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna pada polisemi
masih berkaitan satu sama lain.
Contoh:
Ranbut di kepala
nenek sudah putih.( Kepala yang berarti bagian tubuh
yang bagian atas)
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan pimpinan)
2.3.4
Homonimi
Homonim
adalah dua kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi beda makna.Contoh
: Bisa : 1. Bisa yang berarti racun, 2. Bisa yang berarti dapat atau mampu.
Pada
kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan
homograf.Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa
memperhatikan ejaanya, dengan makna yang berbeda.Contoh : 1.Bang : sebutan
saudara laki-laki,
2. Bank : tempat penyimpanan dan
pengkreditan uang
Homograf
adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya
beda.Contoh : 1. Apel : buah, 2. Apél : rapat, pertemuan.
Masalah
lain dari homonimi yang cukup ruwet adalah perbedaannya dengan polisemi. Ada
cara untuk menentukan homonimi dengan polisemi. Patokan pertama adalah dua buah
bentuk ujaran atau lebih yang kebetulan sama, dan maknanya tentu berbeda,
sedangkan polisemi sebuah ujaran yag memiliki makna lebih dari satu. Makna
dalam polisemi meski berbeda tetapi masih dapat dilacak secara etimologi dan
semantik bahwa makna itu masih mempunyai hubungan.
2.3.5
Hiponimi
Hiponim
adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain.Relasi
makna bersifat searah. Contoh: antara kata jeruk dengan kata buah. Disini makna
kata jeruk tercakup dalam kata buah, tetapi buah bukan hanya jeruk tapi bisa
juga apel, mangga, pepaya dan jambu.
Hipernim
adalah bagian dari hiponim. Dengan kata lain jika jeruk berhiponim dengan buah,
maka buah berhipernim dengan jeruk. Ada juga yang menyebut hiponom dengan
superordinat. Sedangkan hubungan antar jeruk, apel, mangga, dan jenis buah
lainnya adalah kohiponim.
2.3.6
Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguitas adalah gejala yang terjadi akibat
kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tergantung jeda dalam
kalimat. Umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur
suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan secara akurat. Contoh: Buku sejarah
baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru. Dapat juga bermakna (2) buku
tentang sejarah baru.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena
tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena masalah homonimi, sedangkan
konteksnya tidak jelas. Contoh: Kami bertemu paus. Dapat ditafsirkan, (1) ikan
paus, dan (2) pemimpin agama katolik di Roma.
Ada juga ketaksaan yang terjadi dalam bahasa
lisan, meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah
karena ketidakcermatan dalam menyusun kontruksi beranaforis. Contoh: Ujang dan
Doni bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya. Dapat ditafsirkan (1)
ujang mencintai istri ujang, (2) Ujang mencintai istri Doni, (3) Doni mencintai
istrinya, dan (4) Doni mencintai istri Ujang. Ketaksaan ini terjadi karenakata
ganti dia dan nya tidak jelas mengacu pada siapa.
2.3.7
Redundansi
Redundansi
adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Contoh : Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda maknanya
dengan Hamid bertopi ungu.
Memang
dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara
efisien, sehingga kata berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu
makna ( lebih tepat informasi), harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik,
setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.
2.4 Perubahan Makna
Dalam
perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna
baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam
beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya,
sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang
ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan
selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai
suatu syarat mutlak bagi perubahan makna ( Stephen, 2007 : 263-264 ).
Dalam
sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari
ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana, mereka mencoba
menjelaskan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang
diisolasikan (berdiri sendiri). Pada beberapa dekade terakhir suatu pandangan
yang lebih maju berdasarkan prinsip-prinsip struktural telah meluas, perhatian
telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas
yaitu yang disebut “medan asosiatif” yang mencakupi kata-kata tersebut.
2.4.1 Sebab-sebab
Perubahan Makna
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna suatu kata. Diantaranya
adalah sebagai berikut :
1)
Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Dalam
hal ini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang
sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah
sebagai akibat dari pandangan baru atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau
sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Sebagai contoh perubahan makna
kata sastra dari makna tulisan sampai pada makna karya imaginatif adalah salah
satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori
baru mengenai sastra menyebabkan makna kata sastra yang tadinya “bermakna buku
yang baik isinya dan baik bahasanya” menjadi berarti “karya yang bersifat
imaginatif kreatif”.
2)
perkembangan sosial dan budaya
Dalam
perkembangan sosial dan budaya kemasyarakatan turut memengaruhi perubahan
makna. Sebagai contoh kata saudara dalam bahasa sansekerta bermakna seperut
atau satu kandungan. Sekarang kata saudara walaupun masih juga digunakan dalam
artian tersebut tapi juga digunakan untuk menyebut siapa saja yang dianggap
sederajat atau berstatus sosial yang sama. Hal ini terjadi pula pada hampir
semua kata atau istilah perkerabatan seperti bapak, ibu, kakak, adik . Penyebab
perubahan makna ini dimungkinkan disebabkan karena dahulu pada zaman sebelum
merdeka (dan juga beberapa tahun setelah kemerdekaan) untuk menyebut dan menyapa
orang yang lebih tinggi status sosialnya digunakan kata tuan atau nyonya.
Kemudian setelah kemerdekaan dan timbulnya kesadaran bahwa sebutan tuan atau
nyonya berbau kolonial sehingga kia menggantinya dengan sebutan bapak atau ibu.
3)
Pebedaan bidang pemakaian
Kata-kata
yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan
pemakaian sehari-hari dapat juga dipakai dalam bidang lain atau menjadi kosa
kata umum. Sehingga kata-kata tersebut memiliki makna yang baru, atau makna
lain disamping makna aslinya. Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang
pertanian dengan segala macam derivasinya seperti tampak pada frase menggarap
sawah, tanah garapan dan sebagainya, kini banyak digunakan dalam bidang-bidang
lain dengan makna barunya yang berarti mengerjakan seperti tampak pada frasa
menggarap skripsi, menggarap naskah drama dan lain-lain. Dari contoh yang
diuraikan maka kata-kata tersebut bisa jadi mempunyai arti yang tidak sama
dengan arti dalam bidang asalnya, hanya perlu diingat bahwa makna baru
kata-kata tersebut masih ada kaitannya dengan makna asli. Kata-kata tersebut
diunakan dalam bidang lain secara metaforis atau secara perbandingan.
Kesimpulannya makna kata yang digunakan bukan dalam bidangnya itu dan makna
kata yang digunakan di dalam bidang asalnya masih berada dalam poliseminya
karena makna-makna tersebut masih saling berkaitan atau masih ada persamaan
antara makna yang satu dengan makna yang lainnya.
4)
Adanya Asosiasi
Kata-kata
yang digunakan diluar bidangnya seperti dibicarakan pada bagian sebelumnya
masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan pada
idang asalnya. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat
penggunaan dalam bidang yang lain, disini makna baru yang muncul adalah berkaitan
dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Dalam
contoh kata amplop dengan kata uang terjadi asosiasi yaitu berkenaan dengan
wadah. Kata amplop berasal dari bidang administrasi atau surat menyurat, makna
asalnya adalah sampul surat. Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat,
biasa pula dimasukkan benda lain seperti uang. Oleh karena itu dalam kalimat “
Berikan dia amplop biar urusanmu cepat selesai”. Dalam kalimat itu kata amplop
bermakna uang sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi
apa-apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.
5)
Pertukaran Tanggapan Indra
Dalam
penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indera yang
satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya yang seharusnya ditanggap
dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat
indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Contoh
lain pada kata kasar yang seharusnya ditanggap oleh alat indera peraba yaitu
kulit namun bisa juga ditanggap oleh alat indera penglihatan mata seperti pada
kalimat Tingkah lakunya kasar. Pertukaran alat indera penanggap ini biasa
disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun
artinya sama dan aisthetikas artinya tampak. Dalam pemakaian bahasa Indonesia
secara umum banyak sekali terjadi gejala sinestesia ini. Contoh yang lain
terjadi pada beberapa frase yaitu suaranya sedap didengar, warnanya enak
dipandang, suaranya berat sekali, bentuknya manis, kedengarannya memang nikmat
dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
6)
Perbedaan Tanggapan
Setiap
unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna
leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma
kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa
yang rendah, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki
nilai rasa yang tinggi atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya merosot
menjadi rendah ini disebut dengan istilah peyoratif sedangkan yang nilainya
naik menjadi tinggi disebut ameliorative. Contoh kata bini sekarang ini dianggap
peyoratif sedangkan kata istri dianggap ameliorative. Begitupun terjadi pada
kata laki dan suami, kata bang dan bung. Nilai rasa itu kemungkinan besar hanya
bersifat sinkronis. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Perkembangan
pandangan hidup yang biasanya sejalan dengan perkembangan budaya dan
kemasyarakatan dapat memungkinkan terjadinya perubahan nilai rasa peyoratif atau
amelioratifnya sebuah kata.
7)
Adanya Penyingkatan
Dalam
bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan
maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah
mengerti maksudnya. Oleh karena itu kemudian banyak orang menggunakan
singkatannya saja daripada menggunakan bentukya secara utuh. Sebagai contoh ada
yang berkata “ ayahnya meninggal” tentu maksudnya meninggal dunia tapi hanya
disebutkan meninggal saja. Hal ini terjadi pula pada kata berpulang yang
maksudnya berpulang ke rahmatullah, ke perpus yang maksudnya ke perpustakaan,
ke lab yang maksudnya ke laboratarium dan sebagainya. Kalau disimak sebenarnya
dalam kasus penyingkatan kata ini bukanlah peristiwa perubahan makna yang
terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk
kata. Kata yang semula berbentuk utuh disingkat menjadi bentuk yang lebih
pendek.
8)
Proses Gramatikal
Proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi akan menyebabkan pula
terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan
perubahan makna sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses
gramatikal dan proses tersebut telah melahirkan makna-makna gramatikal.
9)
Pengembangan Istilah
Salah
satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan
memanfaatkan kosa ata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan member makna baru
baik dengan menyempitkan, meluaskan maupun memberi makna baru. Seperti pada
kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis kini diangkat menjadi
istilah untuk makna perumahan, kata teras yang semula bermakna inti atau
saripati kayu sekarang memiliki makna yang baru yaitu utama atau pimpinan.
2.4.2.
Jenis Perubahan Makna
Dalam
bagian ini akan diuraikan beberapa jenis perubahan makna yang terjadi dalam
bahasa Indonesia. Berikut pemaparannya :
1.
Perubahan
Meluas
Yang
dimaksud perubahan yang meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau
leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna tetapi kemudian karena
berbagai factor menjadi memiliki makna-makna yang lain. Proses perluasan makna
ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang relative singkat tetapi dapat juga
dalam kurun waktu yang lama. Dan makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil
perluasan makna itu masih berada dalam lingkup poliseminya artinya masih ada hubungannya
dengan makna asalnya. Seperti pada kata saudara yang dahulu hanya mempunyai
satu makna yaitu seperut atau sekandungan sekarang berkembang menjadi bermakna
lebih dari satu. Dan mempunyai makna lain yaitu siapa saja yang sepertalian
darah. Lebih jauh lagi sekarang kata saudara bermakna siapapun orang tersebut
dapat disebut saudara.
2.
Perubahan
Menyempit
Perubahan
menyempit merupakan suatu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada
mulanya mempunyai makna yang cukup luas namun kemudian berubah menjadi terbatas
hanya memiliki sebuah makna saja. Kata sarjana yang pada mulanya berarti orang
pandai atau cendekiawan dan sekarang kata itu hanya memiliki sebuah makna saja
yaitu orang yang lulus dari perguruan tinggi. Sehingga sepandai apapun
seseorang sebagai hasil dari belajar sendiri, kalau bukan tamatan perguruan
tinggi maka tidak bisa disebut sebagai sarjana. Sebaliknya serendah berapapun
indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari perguruan tinggi dia akan
disebut sebagai sarjana.
3.
Perubahan
Total
Yang
dimaksud perubahan total yaitu suatu makna sebuah kata yang berubah total atau
berubah sama sekali dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang
dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal tapi
keterkaitannya ini tampaknya sudah jauh sekali. Sebagai contoh kata seni yang
mulanya bermakna air seni atau kencing sekarang digunakan sebagai istilah untuk
sebuah karya atau ciptaan yang bernilai halus seperti seni lukis, seni tari,
seni suara.
4.
Penghalusan
(ufemia)
Penghalusan
dalam perubahan makna ini maksudnya adalah suatu gejala ditampilkannya
kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau
lebih sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan
makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia.
Misalnya kata penjara diganti dengan istilah lembaga pemasyarakatan, pemecatan
diganti dengan istilah pemutusan hubungan kerja, babu diganti dengan istilah
pembantu rumah tangga.
5.
Pengasaran
(disfemia)
Pengasaran
yang dimaksud adalah suatu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau
bermakna biasa menjadi kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran
ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau dalam
keadaan jengkel. Seperti pada kata menjebloskan untuk menggantikan kata
memasukkan, kata mendepak untuk menggantikan kata mengeluarkan dan sebagainya.
2.4.3.
Faktor yang Memudahkan Terjadinya Perubahan Makna
Dalam
hubungannya dengan perubahan makna Ullmann (1972 :198-210) lewat Mansoer Pateda
menyebutkan beberapa factor yang memudahkan terjadinya perubahan makna, berikut
uraiannya :
1.
Faktor
Kebahasaan
Perubahan
makna karena factor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi dan
sintaksis. Misalnya kata sahaya yang pada mulanya bermakna budak tetapi karena
kata ini berubah menjadi kata saya maka makna kata saya dihubungkan dengan
orang pertama dan orang tidak menghubungkan dengan kata budak sehingga maknanya
pun menjadi berubah.
2.
Faktor
kesejarahan
Faktor
ini dapat dirinci menjadi factor objek, faktor institusi, faktor ide, dan
faktor konsep ilmiah. Sebagai contoh factor objek, kata wanita yang sebenarnya
berasal dari kata betina. Kata betina selalu dihubungkan dengan hewan. Kata
betina dalam perkembangannya menjadi batina lalu fonem /b/ merubah menjadi /w/
sehingga menjadi wanita. Dan kata wanita ini berpadanan dengan kata perempuan
dan sekarang orang tidak lagi menghubungkan kata wanita dengan kata hewan.
3.
Faktor
Sosial
Perubahan
makna yang disebabkan karena faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan
Makna kata dalam masyarakat. Misalnya kata gerombolan yang pada mulanya
bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang tapi kemudian kata ini tidak
disukai lagi sebab selalu dihubungkan dengan pemberontak atau pengacau. Sebelum
tahun 1945 orang dapat saja berkata “ Gerombolan laki-laki menuju pasar”,
tetapi setelah tahun 1945 apalagi dengan munculnya pemberontak maka kata
gerombolan enggan digunakan bahkan ditakuti.
4.
Faktor
Psikologi
Faktor
psikologi ini dapat dirinci lagi menjadi factor emosi dan kata-kata tabu.
Sebagai contoh dari factor tabu misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu makna
kata bangsat dihubungkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk
di kursi rotan karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan. Sekatang
kalau orang marah lalu mengatakan, “ Hei bangsat, kenapa hanya duduk?” maka
kata bangsat disini tidak lagi diartikan sebagai binatang kecil tapi manusia
yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati, sehingga ada perubahan makna pada
kata tersebut.
5.
Pengaruh
Bahasa Asing
Perubahan
bahasa yang satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan. Hal itu disebabkan
oleh interaksi antara sesame bangsa. Itu sebabnya pengaruh bahasa asing
terhadap bahasa Indonesia juga tidak dapat dihindarkan. Pengaruh itu misalnya
berasal dari bahasa Inggris yaitu pada kata keran yang berasal dari bahasa
Inggris crank yang kemudian dalam bahasa Indonesia bermakna keran yang artinya
pancuran air ledeng yang dapat dibuka dan ditutup. Tetapi kalimat “ Engkau
masuk departemen dan dapat membuka keran untuk kemajuan daerah kita”. Makna
keran tidak lagi katup penutup tapi lebih banyak dikaitkan dengan anggaran.
6.
Karena
Kebutuhan Kata yang Baru
Telah
diketahui bahwa manusia berkembang terus sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan
tersebut perlu nama atau kata barukarena bahasa adalah alat komunikasi.
Kadang-kadang konsep baru itu belum ada lambangnya. Dengan kata lain manusia
berhadapan dengan ketiadaan kata atau istilah baru yang mendukung pemikirannya.
Kebutuhan tersebut bukan saja kata atau istilah tersebut belum ada tapi juga
orang merasa bahwa perlu menciptakan kata atau istilah baru untuk suatu konsep
hasil penemuan manusia. Misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak
menggunakan kata saudara maka muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya
dihubungkan dengan orang yang sedarah dengan kita tapi kini kata saudara digunakan
untuk menyebut siapa saja.
2.5 Medan
Makna dan Komponen Makna
2.5.1 Medan Makna
Medan
makna ( semantic domain, semantik field) atau medan leksikal adalah seperangkat
unsur leksikal yagmaknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya,
nama-nama warna, nama-nama perabotan rumah tangga, yang masing-masing merupakan
medan makna.
Di dalam
buku Thesaurus of English Word and Phrases Classified anf Arranged so as to
Facillitate the Expression of Ideal and Assist in Literacy Composition oleh
Peter Mark Roget (1779-1868) terdaftar 1042 kelompok medan makna yang
keseluruhannya terdiri dari 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan
makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974-1975), kata-kata biasanya dibagi
atas empat kelompok. Yaitu, kelompok bendaan (entiti), kelompok
kejadian/peristiwa (event), kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Anggota
kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak terbatas, tetapi dua kelompok
terakhir bersifat terbatas.
Berdasarkan
sifat hubungan semantisnya medan makna dibedakan menjadi dua, yaitu : kelompok
medan kolokasi dan kelompok medan set. Kolokasi menunjukkan pada hubungan
sintagmantik yang terdapat antara kata-kata atau unsur leksikal itu dan
sifatnya linier. Conto: cabe, bawang, terasi, garam, merica dan lada berada
dalam satu kolokasi yaitu berkenaan dengan bumbu dapur. Sedangkan set menunjukkan
pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok
set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu
kesatuan. Contoh: remaja merupakan
tahap perkembangan dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
2.5.2
Komponen Makna
Makna
yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen( yang disebut
komponen makna, yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini
dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu. Berdasarkan
pengertian-pengertian yang dimilikinya.
Analisis
komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari
bentuk-bentuk yang bersinonim; untuk membut prediksi makna-makna gramatikal
afikasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia; dan digunakan untuk
meramalkan makna gramatikal, dapat juga kita lihat pada proses redupliakasi dan
komposisi.
Contoh:
Komponen makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Manusia
2.
Dewasa
3.
Jantan
4.
Betina
|
+
+
+
-
|
+
+
-
+
|
2.5.3 Ksesuaian Semantik dengan Sintaksis
Diterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah
gramatikal, tetapi juga masalah semantik. Contoh:
Andi memanjat pohon di belakang rumah tadi
siang.
S P O ket.tempt ket.waktu
Pohon memanjat Andi di belakang
rumah tadi siang.
S P
O ket.tempt ket.waktu
Keduanya sama-sama kalimat, namun kalimat pertamalah yang
dapat diterima karena masuk akal berdasarkan makna.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa
merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada
setiap perkataan yang diucapkan. Semantik merupakan salah satu bidang
linguistik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri
sangatlah beragam. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi
:
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa
dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti
kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua
hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan
lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Pada kajian semantik ini kita dapat mengetahui tentang
hakikat makna, jenis-jenis makna (makna leksikal, makna gramatikal dan
kontekstual, makna referensial dan nonreferensial, makna konotatif dan
denotatif, makna istilah dan makna makna kata, makna konseptual dan asosiatif,
makna Idiom dan Peribahasa, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif,
makna kolokatif, makna generik, makna spesifik, dan makna tematikal), relasi
makna (sinonim, antonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, redundansi),
perubahan makna, medan makna dan komponen makna.
3.2 Saran
Saran
ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada
jurusan kebahasaan terutama bahasa Indonesia, hendaklah di zaman yang serba
berubah ini kita lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
khususnya dalam bidang bahasa Indonesia. Kita harus melestarikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Perubahan yang terjadi perlu kita cermati
dengan baik agar keaslian bahasa Indonesia tetap terjaga.
Daftar Pustaka
Stokhof, W. A. L. 1980. “Tata Bunyi Bahasa
Indonesia”. Dewan Bahasa. Jilid 24, Bilangan 1: 38-54
Weinrich, Uriel. 1968. Langue in contaxt. The
Hangue: Mouton
Voorhove, P. 1995. Critical Survey of Studies on
The Langueage of Sumatra. ‘s-Gravenhaag : Martinus Nijhoff
1980. teori Linguistik dan Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius
Uhlenbeck, E.M. 1964. Critical Survey of Studies
on The Langueage of Sumatra. ‘s-Gravenhaag : Martinus Nijhoff
arsono. 1986. Fonemik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
blogshinyocom.blogspot.com/2009/.../makalah-semantik-2-makna.ht...
susandi.wordpress.com/seputar-bahasa/semantik/
ahmadzulbahasa.blogspot.com/2010/09/tugas-makalah-semantik.htm
Pateda, Mansoer.
1996. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002.
Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Ullmann, Stephen.
2007. Pengantar Semantik. Yogjakarta : Pustaka Pelajar